Hibaturrahim
Sabtu, 27 April 2013
Seperti Inikah Sistem Pendidikan Kita?
Gambar kartun di bawah ini seakan menyindir sistem pendidikan di
negara kita yang menganggap setiap anak didik dinilai dengan cara yang
sama. Gambar kartun tersebut saya peroleh dari laman Facebook.
Hmmmm… padahal setiap anak didik itu unik, jadi sebenarnya tidaklah fair kalau kita memperlakukannya sama. Menilai anak didik dari satu jenis kecerdasan saja tidaklah adil. Kecerdasan itu banyak macamnya (multiple intelligence), ada kecerdasan matematik, kecerdasan bahasa, kecerdasan spasial, kecerdasan musik, dan lain-lain (lebih lengkap tentang multiple intelligence dapat dibaca di sini). Namun di dalam masyarakat kita, kecerdasan anak itu cenderung dinilai hanya dari kecerdasan matematik saja. Anak yang tidak pintar matematika dianggap anak yang bodoh, padahal mungkin saja kecerdasannya bukan pada sapek itu. Banyak orangtua yang memaksa anaknya ikut les matematika, les Kumon, dan lain-lain agar anaknya jago matematika, padahal minat dan bakat si anak boleh jadi ke arah yang lain.
Sistem pendidikan yang baik adalah yang menggali kecerdasan setiap anak sesuai bakat atau telantanya. Sayangnya model pendidikan seperti ini belum mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah. Mungkin banyak faktor penyebabnya (misalnya jumlah penduduk yang besar), tetapi mungkin juga karena masih ada paradigma bahwa semua pelajaran harus diberikan kepada semua anak, tidak peduli anak tersebut suka atau tidak, tidak peduli cocok dengan kebutuhannya atau tidak. Akhirnya, seperti gambar di atas, semua anak dilihat (baca: dinilai) dengan cara yang sama yang sebenarnya tidak fair. Tidak fair karena untuk kemampuan anak yang bermacam-macam dianggap adil dengan menilainya hanya dari satu aspek kecerdasan saja.
Source: http://rinaldimunir.wordpress.com/2013/04/09/seperti-inikah-sistem-pendidikan-kita/
Hmmmm… padahal setiap anak didik itu unik, jadi sebenarnya tidaklah fair kalau kita memperlakukannya sama. Menilai anak didik dari satu jenis kecerdasan saja tidaklah adil. Kecerdasan itu banyak macamnya (multiple intelligence), ada kecerdasan matematik, kecerdasan bahasa, kecerdasan spasial, kecerdasan musik, dan lain-lain (lebih lengkap tentang multiple intelligence dapat dibaca di sini). Namun di dalam masyarakat kita, kecerdasan anak itu cenderung dinilai hanya dari kecerdasan matematik saja. Anak yang tidak pintar matematika dianggap anak yang bodoh, padahal mungkin saja kecerdasannya bukan pada sapek itu. Banyak orangtua yang memaksa anaknya ikut les matematika, les Kumon, dan lain-lain agar anaknya jago matematika, padahal minat dan bakat si anak boleh jadi ke arah yang lain.
Sistem pendidikan yang baik adalah yang menggali kecerdasan setiap anak sesuai bakat atau telantanya. Sayangnya model pendidikan seperti ini belum mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah. Mungkin banyak faktor penyebabnya (misalnya jumlah penduduk yang besar), tetapi mungkin juga karena masih ada paradigma bahwa semua pelajaran harus diberikan kepada semua anak, tidak peduli anak tersebut suka atau tidak, tidak peduli cocok dengan kebutuhannya atau tidak. Akhirnya, seperti gambar di atas, semua anak dilihat (baca: dinilai) dengan cara yang sama yang sebenarnya tidak fair. Tidak fair karena untuk kemampuan anak yang bermacam-macam dianggap adil dengan menilainya hanya dari satu aspek kecerdasan saja.
Source: http://rinaldimunir.wordpress.com/2013/04/09/seperti-inikah-sistem-pendidikan-kita/
Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”
Artikel ini dikutip dari blognya mahasiswa ITB.
Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-or-against-me.html
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman webini: Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech .
Untuk cuplikan videonya:
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!
Copyright © 2010 Erica Goldson
Pidato Erica tersebut juga dimuat di blog America http://americaviaerica.blogspot.com/2010/07/coxsackie-athens-valedictorian-speech.html dan mendapat tanggapan luas oleh publik di sana.
Source: http://rinaldimunir.wordpress.com/2013/04/07/pidato-wisudawan-terbaik-memukau-tetapi-sekaligus-menakutkan/
Kamis, 25 April 2013
Cara Belajar Para Ilmuwan Terkenal di Dunia
Menjadi kreatif di zaman modern
saat ini sudah menjadi sebuah kewajiban. Suatu negara tentu akan
menghadapi banyak masalah jika negara tersebut kurang memberdayakan
sumber daya manusianya untuk bisa menjadi kreatif.
Menjadi kreatif itu luas maknanya. Kreatif dalam berkarya, kreatif dalam berpikir bahkan berkreatif dalam menyelesaikan masalah.
Dalam belajar sains atau IPA, guru dan siswa seharusnya perlu mengenal latar belakang dari ilmuwan dan bagaimana mereka bisa menciptakan konsep ilmu atau suatu rumus.
Dalam realita bahwa umumnya guru dan siswa juga mengenal konsep dan rumus dan proses pembelajaran kerap kali bercorak membahas rumus dan soal-soal saja.
Sangat tepat rasanya kalau guru dan siswa juga mengenal proses kreatif para ilmuwan (seperti Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Isaac Newton, Charles Darwin dan lain-lain) dalam menemukan suatu fenomena lewat membaca buku biografi mereka.
Cara berbicaranya pada masa kecil
tidak begitu menarik. Kemampuan berbahasa atau berbicaranya sangat
lambat. Melihat kondisi itu orang tuanya sangat prihatin sehingga ia
berkonsultasi dengan dokter.
Karena kemampuan berbicaranya yang lambat membuatnya pernah gagal di sekolah dan kepala sekolah menyarankan agar ia keluar dari sekolah. Tentu saja ia memberontak kepada sekolah yang mengusirnya dan menganggapnya sebagai anak yang sangat bodoh.
Pada masa kecil, Einstein adalah anak yang baik dan ia punya karakter suka menolong, karakter ini membuatnya makin cerdas. Kemampuan berbahasanya memang lebih rendah dibandingkan kemampuan numerika atau matematika.
Ia tidak pernah gagal dalam mata pelajaran matematika. Sebelum ia berumur lima belas tahun ia telah menguasai kalkulus diferensial dan integral yang dipelajarinya secara otodidak.
Saat di sekolah dasar, dia berada di atas kemampuan rata-rata kelas, namun ia memiliki kegemaran untuk memecahkan masalah rumit dalam aritmatika terapan.
Orang tuanya ikut mendukung minat Einstein dalam matematika. Ia membelikan buku-buku teks sehingga ia bisa menguasai pelajaran angka-angka selama liburan musim panas.
2. Thomas Alfa Edison
Ia belajar bagaimana cara
menemukan lampu. Sebelum lampu pertamanya menyala ia melakukan 5.000
eksperimen yang selalu berakhir dengan kegagalan. Namun cara berpikir
yang dimiliki oleh Thomas Alfa Edison sangatlah positif dan tahan
banting, ini membawanya kepada kreativitas tingkat tinggi.
3. Isaac Newton
Lahir di
Woolsthorpe-Lincolnshire, Inggris. Ia adalah seorang fisikawan,
matematikawan, ahli astronomi, filsuf alam, alkimiwan, dan teolog yang
berasal dari Inggris.
Ayahnya yang juga bernama Isaac Newton meninggal tiga bulan sebelum kelahiran Newton. Newton dilahirkan secara prematur. Ketika Newton berumur tiga tahun, ibunya menikah kembali dan meninggalkan Newton di bawah asuhan neneknya.
Newton memulai sekolah saat tinggal bersama neneknya di desa dan kemudian dikirimkan ke sekolah bahasa di daerah Grantham dimana dia akhirnya menjadi anak terpandai di sekolahnya.
Saat bersekolah di Grantham dia tinggal di kost milik apoteker lokal (William Clarke). Sebelum meneruskan kuliah di Universitas Cambridge (usia 19), Newton sempat menjalin kasih dengan adik angkat William Clarke, Anne Storer. Namun Newton memfokuskan dirinya pada pelajaran dan kisah cintanya menjadi semakin tidak menentu dan putus begitu saja.
Keluarganya mengeluarkan Newton dari sekolah dengan alasan agar dia menjadi petani saja, bagaimanapun Newton tidak menyukai pekerjaan barunya.
Kepala sekolah King’s School kemudian meyakinkan ibunya untuk mengirim Newton kembali ke sekolah sehingga ia dapat menamatkan pendidikannya. Newton dapat menamatkan sekolah pada usia 18 tahun dengan nilai yang memuaskan.
Newton diterima di Trinity College Universitas Cambridge (sebagai mahasiswa yang belajar sambil bekerja untuk mengatasi masalah keuangannya). Pada saat itu, kurikulum universitas didasarkan pada ajaran Aristoteles, namun Newton lebih memilih untuk membaca gagasan-gagasan filsuf modern yang lebih maju seperti Descartes dan astronom seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler.
Ia kemudian menemukan teorema binomial umum dan mulai mengembangkan teori matematika yang pada akhirnya berkembang menjadi kalkulus.
4. Charles Darwin
Lahir tanggal 12 Februari 1809 di
Shropshire, Inggris. Ia anak ke-lima Robert Waring Darwin. Ia belajar
sesuai dengan kurikulum berbahasa Yunani Klasik. Ia tidak memperlihatkan
prestasi yang bagus secara akademik.
Kemudian ia mengambil jurusan kedokteran tetapi tidak banyak memperoleh kemajuan. Untuk itu ia melakukan usaha lain agar bisa maju. Ayahnya menyarankan Darwin untuk menjadi pendeta dan belajar di Christ’s College untuk belajar teologi.
Tetapi ia juga tidak memperoleh kemajuan, ia malah senang berburu dan permainan menembak. Ternyata Darwin mempunyai minat dalam mengkoleksi tanaman, serangga, dan benda-benda geologi. Ia tertarik dengan bakat berburu sepupunya William Darwin.
Darwin mengembangkan minatnya dalam serangga dan spesies langka. Naluri ilmiah Darwin didorong oleh Alan Sedgewick, seorang ahli bumi, dan juga didorong oleh John Stevens Henslow, seorang professor botany.
Darwin kemudian menjadi naturalist (pencinta alam) dan ikut melakukan ekspedisi dengan HMS Beagle. Tim ekspedisi HMS Beagle berlayar dan mengunjungi banyak negeri di lautan Pasifik Selatan sebelum kembali ke Inggris melalui Tanjung Harapan Baik di Afrika Selatan, dalam rangka mengelilingi dunia.
Darwin juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Malthus, dengan bukunya "Essay on the Principle of PopulationI". Buku tersebut mengatakan bahwa populasi seharusnya bertambah sesuai dengan batas persediaan makanan, kalau tidak maka akan terjadi persaingan untuk memperebutkan makanan.
Setelah membaca buku ini, Darwin memfokuskan teorinya bahwa "The diversity of species centered on the gaining of food – food being necessary both to survive and to breed"- semua jenis spesies terfokus dalam memenuhi kebutuhan makanan dan makanan berguna untuk kelangsungan hidup dan untuk berkembang biak.
Inspirasi
Dari paparan di atas terlihat bahwa sukses seorang ilmuwan berskala dunia tidak jatuh dari langit, atau diperoleh saat kelahirannya. Kesuksesan sebagai ilmuwan diperoleh melalui proses kreatif (belajar kreatif) selama hidupnya.
Tidak semua orang memiliki kemampuan berganda yang hebat, Einstein misalnya pada masa kecil tidak beruntung dengan kemampuan bahasanya, namun ia mengembangkan kemampuan yang lain.
Einstein bisa melejit pada bidang matematika. Bagi kita, mungkin bisa melejit pada bidang olah raga, musik, organisasi atau pada bidang lain.
Kesuksesan seorang anak juga akan terbentuk dengan dukungan orang tua seperti yang dialami Einstein, atau dukungan tokoh lain seperti yang dialami oleh Darwin.
Tidak mungkin seseorang bisa sukses untuk skala nasional, apalagi untuk skala internasional kalau mereka tidak minat membaca.
Newton membaca gagasan-gagasan filsuf seperti Descartes dan astronom seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler. Darwin dipengaruhi oleh pemikiran (buku) Thomas Malthus, nah bagaimana dengan Anda?
Orang bisa sukses karena memiliki karakter tidak mudah putus asa, Thomas Alfa Edison, misalnya, sangat tahan banting dan tidak suka mengeluh. Sebelum menemui sebuah lampu pijar yang bisa menyala, ia harus melakukan lebih dari 5.000 kali eksperimen di bengkel milik ayahnya.
Bagaimana proses belajar kreatif para ilmuwan berskala internasional ?
Cukup mudah, yaitu miliki suatu bakat atau minat dalam bidang ilmu (misal dalam seni, fisika, kimia, sejarah, ekonomi, geografi, dll), kemudian kembangkan minat tersebut dengan belajar keras dan lakukan secara otodidak.
Mintalah dukungan dari orang terdekat, termasuk guru. Miliki karakter yang tahan banting (tidak suka putus asa dan mengeluh), miliki minat dan kesenangan membaca yang mendalam untuk menambah wawasan. Untuk sukses maka diperlukan puluhan, ratusan atau ribuan kali latihan.
Karena kemampuan berbicaranya yang lambat membuatnya pernah gagal di sekolah dan kepala sekolah menyarankan agar ia keluar dari sekolah. Tentu saja ia memberontak kepada sekolah yang mengusirnya dan menganggapnya sebagai anak yang sangat bodoh.
Pada masa kecil, Einstein adalah anak yang baik dan ia punya karakter suka menolong, karakter ini membuatnya makin cerdas. Kemampuan berbahasanya memang lebih rendah dibandingkan kemampuan numerika atau matematika.
Ia tidak pernah gagal dalam mata pelajaran matematika. Sebelum ia berumur lima belas tahun ia telah menguasai kalkulus diferensial dan integral yang dipelajarinya secara otodidak.
Saat di sekolah dasar, dia berada di atas kemampuan rata-rata kelas, namun ia memiliki kegemaran untuk memecahkan masalah rumit dalam aritmatika terapan.
Orang tuanya ikut mendukung minat Einstein dalam matematika. Ia membelikan buku-buku teks sehingga ia bisa menguasai pelajaran angka-angka selama liburan musim panas.
2. Thomas Alfa Edison
3. Isaac Newton
Ayahnya yang juga bernama Isaac Newton meninggal tiga bulan sebelum kelahiran Newton. Newton dilahirkan secara prematur. Ketika Newton berumur tiga tahun, ibunya menikah kembali dan meninggalkan Newton di bawah asuhan neneknya.
Newton memulai sekolah saat tinggal bersama neneknya di desa dan kemudian dikirimkan ke sekolah bahasa di daerah Grantham dimana dia akhirnya menjadi anak terpandai di sekolahnya.
Saat bersekolah di Grantham dia tinggal di kost milik apoteker lokal (William Clarke). Sebelum meneruskan kuliah di Universitas Cambridge (usia 19), Newton sempat menjalin kasih dengan adik angkat William Clarke, Anne Storer. Namun Newton memfokuskan dirinya pada pelajaran dan kisah cintanya menjadi semakin tidak menentu dan putus begitu saja.
Keluarganya mengeluarkan Newton dari sekolah dengan alasan agar dia menjadi petani saja, bagaimanapun Newton tidak menyukai pekerjaan barunya.
Kepala sekolah King’s School kemudian meyakinkan ibunya untuk mengirim Newton kembali ke sekolah sehingga ia dapat menamatkan pendidikannya. Newton dapat menamatkan sekolah pada usia 18 tahun dengan nilai yang memuaskan.
Newton diterima di Trinity College Universitas Cambridge (sebagai mahasiswa yang belajar sambil bekerja untuk mengatasi masalah keuangannya). Pada saat itu, kurikulum universitas didasarkan pada ajaran Aristoteles, namun Newton lebih memilih untuk membaca gagasan-gagasan filsuf modern yang lebih maju seperti Descartes dan astronom seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler.
Ia kemudian menemukan teorema binomial umum dan mulai mengembangkan teori matematika yang pada akhirnya berkembang menjadi kalkulus.
4. Charles Darwin
Kemudian ia mengambil jurusan kedokteran tetapi tidak banyak memperoleh kemajuan. Untuk itu ia melakukan usaha lain agar bisa maju. Ayahnya menyarankan Darwin untuk menjadi pendeta dan belajar di Christ’s College untuk belajar teologi.
Tetapi ia juga tidak memperoleh kemajuan, ia malah senang berburu dan permainan menembak. Ternyata Darwin mempunyai minat dalam mengkoleksi tanaman, serangga, dan benda-benda geologi. Ia tertarik dengan bakat berburu sepupunya William Darwin.
Darwin mengembangkan minatnya dalam serangga dan spesies langka. Naluri ilmiah Darwin didorong oleh Alan Sedgewick, seorang ahli bumi, dan juga didorong oleh John Stevens Henslow, seorang professor botany.
Darwin kemudian menjadi naturalist (pencinta alam) dan ikut melakukan ekspedisi dengan HMS Beagle. Tim ekspedisi HMS Beagle berlayar dan mengunjungi banyak negeri di lautan Pasifik Selatan sebelum kembali ke Inggris melalui Tanjung Harapan Baik di Afrika Selatan, dalam rangka mengelilingi dunia.
Darwin juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Malthus, dengan bukunya "Essay on the Principle of PopulationI". Buku tersebut mengatakan bahwa populasi seharusnya bertambah sesuai dengan batas persediaan makanan, kalau tidak maka akan terjadi persaingan untuk memperebutkan makanan.
Setelah membaca buku ini, Darwin memfokuskan teorinya bahwa "The diversity of species centered on the gaining of food – food being necessary both to survive and to breed"- semua jenis spesies terfokus dalam memenuhi kebutuhan makanan dan makanan berguna untuk kelangsungan hidup dan untuk berkembang biak.
Inspirasi
Dari paparan di atas terlihat bahwa sukses seorang ilmuwan berskala dunia tidak jatuh dari langit, atau diperoleh saat kelahirannya. Kesuksesan sebagai ilmuwan diperoleh melalui proses kreatif (belajar kreatif) selama hidupnya.
Tidak semua orang memiliki kemampuan berganda yang hebat, Einstein misalnya pada masa kecil tidak beruntung dengan kemampuan bahasanya, namun ia mengembangkan kemampuan yang lain.
Einstein bisa melejit pada bidang matematika. Bagi kita, mungkin bisa melejit pada bidang olah raga, musik, organisasi atau pada bidang lain.
Kesuksesan seorang anak juga akan terbentuk dengan dukungan orang tua seperti yang dialami Einstein, atau dukungan tokoh lain seperti yang dialami oleh Darwin.
Tidak mungkin seseorang bisa sukses untuk skala nasional, apalagi untuk skala internasional kalau mereka tidak minat membaca.
Newton membaca gagasan-gagasan filsuf seperti Descartes dan astronom seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler. Darwin dipengaruhi oleh pemikiran (buku) Thomas Malthus, nah bagaimana dengan Anda?
Orang bisa sukses karena memiliki karakter tidak mudah putus asa, Thomas Alfa Edison, misalnya, sangat tahan banting dan tidak suka mengeluh. Sebelum menemui sebuah lampu pijar yang bisa menyala, ia harus melakukan lebih dari 5.000 kali eksperimen di bengkel milik ayahnya.
Bagaimana proses belajar kreatif para ilmuwan berskala internasional ?
Cukup mudah, yaitu miliki suatu bakat atau minat dalam bidang ilmu (misal dalam seni, fisika, kimia, sejarah, ekonomi, geografi, dll), kemudian kembangkan minat tersebut dengan belajar keras dan lakukan secara otodidak.
Mintalah dukungan dari orang terdekat, termasuk guru. Miliki karakter yang tahan banting (tidak suka putus asa dan mengeluh), miliki minat dan kesenangan membaca yang mendalam untuk menambah wawasan. Untuk sukses maka diperlukan puluhan, ratusan atau ribuan kali latihan.
sumber: http://talikolor.blogspot.com/2013/04/cara-belajar-para-ilmuwan-terkenal-di.html
Rabu, 06 Februari 2013
Tips Membuat Koneksi Jaringan Android Stabil
Sering kita mengeluh
bahwa sinyal gadget android yang tak stabil, hilang timbul atau dari
HSDPA tiba-tiba berubah sendiri menjadi EDGE atau begitu sebaliknya,
Bagaimana cara mengatasinya? Perlu dingat sebelumnya, trik atau tips
disini bukan membuat sinyal android anda menjadi lebih kuat atau bukan
sebagai penguat sinyal,tapi tujuannya untuk menstabilkan sinyal tersebut
sehingga lebih lancar dipakai. Berikut kelebihan dari Set ini :
1. Membuat
koneksi jaringan lebih stabil, seperti hanya berjalan di HSDPA saja
atau hanya di EDGE saja,tergantung maunya kita sendiri.
2. Menghemat
batre, kenapa bisa begitu? Karna system android kita tidak perlu selalu
mencari koneksi sinyal yang stabil letaknya di EDGE atau HSDPA,
sehingga memboroskan batre.
3. Mengurangi panas berlebih, penjelasannya hampir mirip dengan poin no.2
1. Pemaksaan
sinyal ke HSDPA (3G,H+) atau ke EDGE (GPRS) akan memaksa kita menganti
ganti setingan koneksi sehingga sedikit merepotkan (bagi yang malas),
Contoh : Di sebuah kota Android kita setting ke HSDPA dan pada waktu di
Sebuah Kampung yang tak ad koneksi HSDPA nya maka terpaksa kita ubah
settingnya ke EGDE lagi.
2. Kita
akan kehilangan sinyal Jika kita lupa merubah setting di kondisi sinyal
yang lain (HSDPA ke EDGE / Sebaliknya) pada waktu didaerah yang tak ada
sinyal kondisi tersebut.
Sebenarnya untuk Banyak
Smartphone android sudah ada tersedia pengaturannya secara defule
didalam Setting androidnya.Tapi sebagian Smartphone android yang lain
pada bagian itu sedikit tersembunyi sehingga memerlukan cara untuk
membuka setting tersebut.Disini Saya contohkan di Smartphone android
Galaxy Nexus.Untuk Smartphone android lain tidak terlalu banyak
perbedaan,hanya sedikit beda ditampilan dan settingnya saja. Berikut
Caranya :
1. Buka Smartphone anda, dan buka menu dialernya (Call)
2. Kemudian ketik ini *#*#4636#*#*
3. Di
Galaxy Nexus akan Otomatis lansung keluar seperti Tampilan
diatas,Sebagian di Smartphone lain akan keluar beberapa informasi
seperti :
· Phone information
· Battery Information
· Usage Statistis
· Wi-fi information
Maka Pilih Phone information
4. Setelah itu akan keluar beberapa pilihan,silahkan pilih sesuai kriteria yang diinginkan.
Ada banyak pilihan disana :
· WCDMA only = (HSDPA,HSDPA+,3G)
· GSM only = Egde,GPRS
Jika kita menginginkan sinyal stabil di HSDPA – 3G maka pilih pengaturan di WCDMA only,begitu juga sebaliknya.
5. Setelah itu Segarkan,dan pencet Perbaharui seperti gambar dibawah.
Perlu diingat,Untuk Smartphone lain silahkan pilih dahulu *Select Radio Band* dan silahkan pilih Japan Band.Dan tunggu beberapa detik/menit maka jaringan kita akan di set.
Catatan : Perlu
diingat juga, jika Jaringan didaerahmu lebih kuat di HSDPA - 3G
sebaiknya set WCDMA only, dan jika kuat di Edge - GPRS maka set ke GSM
only. Bagi yang mau Copas info mohon tampilkan sumbernya ya ^_^ dan Bagi
yang punya catatan atau bahasan yang lebih lengkap dari kami diatas
mohon tambahkan dikomentar ya,kritik dan saran membangun akan kami
terima dengan baik untuk kemajuan bersama.
Sumber: http://droid-indonesia.blogspot.com/2012/11/tips-membuat-koneksi-jaringan-android.html
http://droid-indonesia.blogspot.com/
http://droid-indonesia.blogspot.com/
Minggu, 12 Agustus 2012
Ridwan Kamil "Sang Arsitek"
Ridwan Kamil, tinggal serta memiliki kantor kecil di Bandung (hanya cukup untuk 25 orang), juga berprofesi sebagai dosen Arsitektur ITB dan ketua Bandung Creative City Forum, Ridwan Kamil mematahkan mitos bahwa untuk sukses harus tinggal di Jakarta, memiliki kantor yang besar dan harus bekerja sebagai full professional. Bersama Urbane (Urban Evolution) sebagai jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain yang dia dirikan pada tahun 2004.
Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil banyak menghasilkan karya arsitektur di berbagai negara seperti di Singapura, Thailand, Bahrain, Cina, Vietnam, Uni Emirat Arab dan tentu saja di Indonesia. Umumnya proyek ini berupa pengembangan kawasan perkotaan seluas 10-1000 ha atau disebut sebagai mega proyek.
Sarjana Teknik Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung ini mendapat beasiswa S2 dan berhasil meraih gelar Master of Urban Design dari College of Environmental Design, University of California, Barkeley di Amerika Serikat. Sejak tahun 2004 hingga 2009 Emil telah meraih 12 penghargaan di Bidang Desain Arsitektur dalam lingkup Asia.
Beberapa contoh proyek yang ditangani Emil diantaranya Marina Bay Waterfront Master Plan di Singapura, Sukhotai Urban Resort Master Plan di Bangkok, Ras Al Kaimah Waterfront Master di Qatar, juga district 1 Saigon South Residential Master Plan di Saigon, Shao Xing Waterfront Masterplan (China), Beijing CBD Master Plan, dan Guangzhou Science City Master Plan.
Tak hanya di negara lain, di Indonesia, tepatnya Jakarta, Emil menggarap Superblock Project untuk Rasuna Epicentrum. Dari luas lahan sebesar 12 hektar tersebut, dibangun Bakrie Tower, Epicentrum Walk, perkantoran, retail, dan waterfront. Namun semua pencapaian ini tak membuatnya puas dan berhenti. Emil yang memiliki filosofi hidup to live is to give ini ingin selalu ingin menjadi extra value bagi orang lain. Ia masih memiliki tiga mimpi yang ingin segera diwujudkannya untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi di kota-kota besar.
Proyek pertama yang ingin dibuatnya adalah shuttle bike, yakni pusat penyewaan sepeda di jalan-jalan protokol dan pusat bisnis Jakarta. "Saya membayangkan jika sekitar SCBD ada shuttle bike, jadi kalau mau jalan dari gedung ke gedung enggak usah pakai mobil, yang selama ini jadi salah satu penyebab macet. Shuttle bike nanti ada di beberapa titik, jadi kalau sudah sampai tujuan, sepeda bisa dititipkan dan dipakai lagi saat urusan selesai," jelas lelaki kelahiran 4 Oktober 1971 ini.
Proyek impiannya yang kedua adalah Green Box. "Saya membayangkan sebuah kotak seperti telepon umum zaman dulu, tapi dipenuhi dengan tanaman hijau di dindingnya. Di dalamnya ada nada suara burung, percikan air, juga aromatherapy yang menenangkan. Jadi untuk orang Jakarta yang stress,penat dengan pekerjaannya, atau setelah terjebak macet, masuk saja ke kotak itu. Saya berkhayal Green Box ini akan menyebar di seluruh sudut kota Jakarta," ungkap Pemenang Young Creative Enterpreneur Award tahun 2006 dari British Council ini.
Proyek impian ketiga adalah membangun creative center di kota-kota besar. "Saya membayangkan sebuah gedung yang isinya orang-orang kreatif. Selama ini kan orang-orang kreatif ngumpulnya di mal, di café, padahal tidak selamanya orang kreatif itu punya uang. Saya ingin membangun creative center yang akan jadi pusat berkumpulnya orang-orang kreatif. Jadi mau ngumpul saja, atau bikin kegiatan lainnya bisa menggunakan tempat itu, gratis," tambah Emil.
Penghargaan yang diraih:
2004 Winner of International Design Competition
2004 Islamic Center, Beijing, RRC
2005 Winner of International Design Competition
2005 Waterfront Retail Masterplan, Suzhou, RRC
2005 Winner of International Design Competition
2005 Kunming Tech Park, Kunming, RRC
2006 Winner Internatonal Young Design Entrepreneur of The Year versi British Council
Indonesia
2007 Winner of International Design Competition for Aceh Tsunami Museum
2008 Top Ten Architecture Business Award dari BCI Asia
2009 Top Ten Architecture Business Award dari BCI Asia
2009 Architect of The Year dari Elle Decor Magazine
Biodata
Nama : M. Ridwan Kamil
Lahir : Bandung, 4 Oktober 1971
Jabatan :
• Prinsipal PT. Urbane Indonesia
• Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung
• Senior Urban Design Consultant SOM, EDAW (Hong Kong & San Francisco), SAA (Singapura)
Pendidikan :
• Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Bandung
• Master of Urban Design, College of Environmental Design, University of California, Berkeley AS
Nama : M. Ridwan Kamil
Lahir : Bandung, 4 Oktober 1971
Jabatan :
• Prinsipal PT. Urbane Indonesia
• Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung
• Senior Urban Design Consultant SOM, EDAW (Hong Kong & San Francisco), SAA (Singapura)
Pendidikan :
• Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Bandung
• Master of Urban Design, College of Environmental Design, University of California, Berkeley AS
Source:
http://properti.kompas.com/read/2011/08/03/08193734/Mimpi-mimpi.Ridwan.Kamil
http://www.indonesiakreatif.net/index.php/id/ceritasukses/read/ridwan-kamil
Bedanya PENJARA dengan KANTOR
Perbedaan 1
Penjara :Kita hidup di ruangan 8×10 meter persegi.
Kantor :
Kita hidup di ruangan 6×8 meter persegi.
Perbedaan 2
Penjara :Dapat 3X makan, gratis lagi.
Kantor :
Dapat 1x makan gratis (kalo ada itu juga), selanjutnya bayar sendiri.
Perbedaan 3
Penjara :Untuk kebiasaan baik mendapat hadiah istirahat.
Kantor :
Untuk kebiasaan baik mendapat hadiah TAMBAHAN PEKERJAAN!
Perbedaan 4
Penjara :Penjaga akan membukakan dan menguncikan pintu untuk kita.
Kantor :
Kita harus membawa sendiri, membuka sendiri, menutup serta mengunci sendiri semua pintu yang kita punyai.
Perbedaan 5
Penjara :Kita bisa nonton TV setiap hari.
Kantor :
Kita bisa dipecat kalo nonton TV.
Perbedaan 6
Penjara :Kita punya ruangan pribadi.
Kantor :
Kita harus selalu bersama Budi, Iwan, Widi, dll. … he he he
Perbedaan 7
Penjara :Diijinkan bertemu dengan keluarga untuk bersenda gurau.
Kantor :
Kita sama sekali tidak diijinkan bersantai ria bersama keluarga disini. Ya iyalaah … emangnyataman rekreasi.
Perbedaan 8
Penjara :Semua pengeluaran ditanggung negara.
Kantor :
Kita harus tanggung pengeluaran diri kita sendiri, bahkan gaji kita dipotong pajak untuk menghidupi yang ada di penjara.
Jadi sekarang lebih memilih dimana ?
Kantor atau penjara ?
Semoga joke diatas bisa membuat anda tersenyum hari ini ….
Source: http://hibaturrahim.wordpress.com/2012/08/02/bedanya-penjara-dengan-kantor/
Langganan:
Postingan (Atom)